Aku masih membuka mata.
Memandang simpati ke wajah mereka dengan seksama. Si Cantik itu menceritakan putranya
lagi, yang makan hati Bundanya, yang menghabiskan harta keluarganya, yang
temperamental, yang jadi korban pergaulan teman-temannya. Hanya saja dia tetap
putra satu-satunya Sang Bunda. Berbagai alasan tentang Ayah yang tak mengerti
putranya, tentang teman sekolah yang hanya bisa nebeng jajan, dolan dan nonton konser, tentang guru konselingnya
yang kurang cakap menerapkan ilmunya agar Sang Putra bisa menjadi anak yang
dibanggakan, tampak seperti cerita seru di mataku. Hanya di mata. Karena kututup
telinga. Segnorita cantik di seberang
mejaku menghembuskan nafas pelan tapi syahdu, huff… “Always… egois dan dramatis”
katanya lirih agar tidak tedengar Si Cantik itu sambal diam-diam meninggalkan
meja kami. Keluar lewat pintu rahasia di balik almari. “Yahh… yang sabar ya,
Cantik.” Kata Si Manis yang juga mendengarkan bersamaku sejak tadi di satu
tempat di antara kami.
Sudah hampir dua meter aku
menyembunyikan langkahku menuju balik almari di depan rak-rak buku tempatku
seharusnya tenggelam dalam pekerjaan wajib itu. “Bosan mendengar Si Putri
paling benar sendiri itu, kapan dia akan sekali saja merasa bersalah..” huff…
Aku menoleh, Si Manis yang
tadi membesarkan hati Si Cantik. Tipis senyum di bibirku mungkin tak terekam
olehnya. Aku ingat kemarin dia memamerkan putrinya sendiri yang sudah bisa
menulis di buku gambanya dan juga hamper seluruh dinding rumahnya dengan ceria.
Lalu salah seorang teman kami berkomentar, “Wah putrimu pintar sekali.” Rekan kami
itu benama Missya. “Nanti ajari putrimu berdisplin.” Aku tidak lupa Missya
menasehatiku seperti ini kemarin dua jam setelah Si Manis menceritakan
putrinya.
Aku hanya mengangkat alis. Menatap kembali
penuh simpati wanita di sampingku. Menunjukkan betapa aku memperhatikan semua kisah
petualangan serunya seolah dengan sepenuh hati. Sekali lagi aku melebarkan
mataku. Hanya mataku. Karena sudah kututup telingaku. Dan mungkin aku juga
harus mengikat lidahku. Sampai nanti aku tak perlu bertahan seperti itu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar