Rabu, 21 September 2016

Menutup Telinga

Aku masih membuka mata. Memandang simpati ke wajah mereka dengan seksama. Si Cantik itu menceritakan putranya lagi, yang makan hati Bundanya, yang menghabiskan harta keluarganya, yang temperamental, yang jadi korban pergaulan teman-temannya. Hanya saja dia tetap putra satu-satunya Sang Bunda. Berbagai alasan tentang Ayah yang tak mengerti putranya, tentang teman sekolah yang hanya bisa nebeng jajan, dolan dan nonton konser, tentang guru konselingnya yang kurang cakap menerapkan ilmunya agar Sang Putra bisa menjadi anak yang dibanggakan, tampak seperti cerita seru di mataku. Hanya di mata. Karena kututup telinga. Segnorita cantik di seberang mejaku menghembuskan nafas pelan tapi syahdu, huff… “Always… egois dan dramatis” katanya lirih agar tidak tedengar Si Cantik itu sambal diam-diam meninggalkan meja kami. Keluar lewat pintu rahasia di balik almari. “Yahh… yang sabar ya, Cantik.” Kata Si Manis yang juga mendengarkan bersamaku sejak tadi di satu tempat di antara kami. 
Sudah hampir dua meter aku menyembunyikan langkahku menuju balik almari di depan rak-rak buku tempatku seharusnya tenggelam dalam pekerjaan wajib itu. “Bosan mendengar Si Putri paling benar sendiri itu, kapan dia akan sekali saja merasa bersalah..” huff…
Aku menoleh, Si Manis yang tadi membesarkan hati Si Cantik. Tipis senyum di bibirku mungkin tak terekam olehnya. Aku ingat kemarin dia memamerkan putrinya sendiri yang sudah bisa menulis di buku gambanya dan juga hamper seluruh dinding rumahnya dengan ceria. Lalu salah seorang teman kami berkomentar, “Wah putrimu pintar sekali.” Rekan kami itu benama Missya. “Nanti ajari putrimu berdisplin.” Aku tidak lupa Missya menasehatiku seperti ini kemarin dua jam setelah Si Manis menceritakan putrinya.
 Aku hanya mengangkat alis. Menatap kembali penuh simpati wanita di sampingku. Menunjukkan betapa aku memperhatikan semua kisah petualangan serunya seolah dengan sepenuh hati. Sekali lagi aku melebarkan mataku. Hanya mataku. Karena sudah kututup telingaku. Dan mungkin aku juga harus mengikat lidahku. Sampai nanti aku tak perlu bertahan seperti itu lagi.