Rabu, 08 Februari 2017

Jika Diam pun Tak Cukup

Jika saya mau bicara nanti, akankan Anda menerima alasan itu.
1. Pengeluaran untuk kepentingan lembaga penuh pertanyaan, (buat apa? Notanya mana? Kenapa nggak bilang dulu?), atau jawaban singkat (dana habis),  Bila untuk refreshing otak atau refreshing perut , ‘oke’.
Kenapa jika saya menolak untuk mengurangi beban pegeluaran yang bukan untuk kemajuan lembaga, malah jadi terkesan tidak mejaga kekeluargaan?
2. Rekan kerjaku bilang ‘Males ngerjainnya’, terus tidur. Saat Anda mengetahuinya, jawabannya ‘Dia hanya pekerja honorer yang gajinya tak seberapa, apa status PNSmu dicopot saja kalau itu saja diiri.’
    Kenapa jika saya yang bilang pada Anda jadi terkesan saya yang iri?
3. Saya tidak ikut piknik, lagi hemat pengeluaran. Masih single, gajimu buat apa?
    Mungkinkah jika saya bilang, saya membayar pengeluaran rumah dan kuliah adik saya Anda tidak akan bilang ‘Makanya buruan nikah dong, pilih apa lagi sih?’
Jadi saya diam, bukan tidak mau mendengar saran, egois atau yang paling parah menentang perintah atasan saya. Jika kita tahu jawaban apa dari setiap pertanyaan yang akan didapat dari orang yang kita tanya, atau kita tahu balasan apa yang kita dapat dari orang yang kita ajak bicara, perlukah kita bicara lagi. Saya berpikir, diam itu cukup.
Tapi kemudian dia bilang, ‘Kalau ada kesulitan atau masalah bicaralah, jangan cuma diam ngga akan menyelesaikan masalah.’ Dengan konsekuensi jawaban relatif seperti di atas. Rupanya diam pun kurang memuaskan  Anda.

Kamis, 8 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar